TATAR PASUNDAN–INDOTIPIKOR.COM—BAPA AING NEWS—Oleh: Kang Dedi Mulyadi
“Nyali sama harganya dengan nyawa. Jika itu hilang, niscaya tak ada gunanya kau hidup,” Ernesto Guevara Lynch de La Serna (Che Guevara), revolusioner, dokter, pengarang, pemimpin gerilya, dan diplomat.
Kalimat dari revolusioner diatas sering saya gunakan untuk menggambarkan kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi (KDM) dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sejak awal tulisan, sudah disampaikan “jangan biarkan Kang Dedi Mulyadi bertarung sendiri” untuk mengurusi persoalan di Jawa Barat. Tantangan memimpin di daerah tersebut berbeda daripada di provinsi lain.
Pertama persoalan lingkungan yang sudah rusak dan diperparah dengan di beking oleh oknum, kedua penduduk terbesar di Indonesia, ketiga provinsi dengan tujuan investasi terbesar di tanah air. Sehingga akan menyedot banyak orang dan meningkatnya premanisme, ke empat pengangguran dan kemiskinan terbesar dan sebreg persoalan lainnya.
Pergerakan Kang Dedi sangat taktis untuk mengajak pemangku kepentingan dan kebijakan di Jawa Barat untuk berada dalam kesatuan manunggal membangun dan menciptakan iklim yang baik. Seperti memperkuat hubungan kerjasama dengan TNI-Polri untuk terlibat dalam pembangunan. Termasuk, perbangkan agar lebih berpihak mendorong para pelaku ekonomi kecil agar lebih mudah mendapatkan suporting bantuan modal.
Kenapa menjadi penting untuk tidak membiarkan Kang Dedi Mulyadi berjuang sendiri, karena keberanian, pemikiran yang menggerakan langkahnya tidak seperti pemimpin daerah kebanyakan.
Kang Dedi berani mengambil keputusan tanpa melepaskan aturan yang diembannya dalam waktu cepat, berani menerobos kebiasaan lama pemerintahan yang kaku, dan kepemimpinanya tipikal eksekutor langsung apabila kehormatan masyarakatnya di injak-injak.
Termasuk, keberaniannya dalam menekan angka premanisme. Satgas Pemberantasan Premanisme yang terdiri dari Polri, TNI, polisi militer, kejaksaan, BIN Daerah, Satpol PP, dan stakeholders lain, cukup membuktikan nyalinya untuk menjaga kehormatan daerah yang dipimpinnya.
Sekarang mulai banyak yang tersadarkan dengan gaya dan arah tujuan kepemimpinan Kang Dedi. Ada yang ketar-ketir, ada yang mendekati walau pintunya salah-salah, ada yang seolah-olah mendukung agar bisnisnya bisa terus berjalan, ramai-ramai ikut mendukung Kang Dedi karena khawatir ladang bisnisnya terganggu. Sebetulnya, keberadaanya mereka bisa dikatakan bukan mendukung, tapi numpang hidup, mengisap seperti parasit.
Berhadapan dan melawan Kang Dedi secara politis memang tidak mudah, pola yang akan dimainkan dan dampak yang ditimbulkan, sudah terbaca sebelumnya. Kang Dedi ada beberapa langka didepan mereka, karena sumber informasi dan intuisinya sebagai pemimpin telah mengakar secara alami.
Hal itu disebabkan karena, Kang Dedi bukan figur yang datang tiba-tiba. Lahir dari desa, menempuh pendidikan dan matang dalam berorganisasi maupun dalam berpolitik. Jadi, sudah terbiasa membaca pola yang digunakan oleh lawan politiknya. Kematangan itulah yang akhirnya memperkuat karakter yang dibawanya.
Revolusi Pendidikan, Revolusi Kebudayaan dan Revolusi Lingkungan
Nyali dan keberanian Kang Dedi merubah kebiasaan lama masyarakat secara tidak langsung sedang melanjutkan Revolusi yang dilakukan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno (Bung Karno) dalam berbagai bidang, khusunya di Jawa Barat karena sebagai contoh nasional. Bagaimana keberpihakannya menggerakan ekonomi arus bawah untuk membangun ekonomi berdikari seperti yang diajarkan oleh Bung Karno.
Cara yang dilakukannya lebih halus dan lembut. Mengingat, orang beranggapan revolusi identik dengan perang fisik. Tapi kalau kalau dipahami, peperangan itu tetap terjadi, perang itu adalah perang ideologi. Ideologi kebudayaan Sunda yang menjadi pijakan merupakan bagian dari ideologi Pancasila
Pendidikan saat diarahkan kepada pendidikan produktif, lingkungan dijaga dan dikembalikan lagi ke fungsinya, kemudian kebudayaan menjadi energi penghubung untuk memperkuat nilai-nilai kesundaan yang sudah mulai dilupakan.
Tradisi yang sudah ditinggalkan itu terus diingatkan kembali agar masyarakat tidak tercerabut dari akar budayanya, memang mengatasi hal itu tidak bisa dilakukan secara kilat, karena akan memakan waktu.
Dari semua yang dilakukan dan dirasakan oleh banyak pihak, kepemimpinan Kang Dedi adalah gaya kepemimpinan seorang ‘Negarawan’. Kenapa, dia tidak lagi berfikir untuk lima tahun kedepan, atau sepuluh tahun kedepan. Tetapi, dia berfikir untuk satu generasi, dan menyiapkan generasi selanjutnya. Gaya Ini jugalah yang menjadi pembeda.
Yang paling penting dan harus dipikirkan juga adalah, setelah revolusi ini benar-benar berjalan, pekerjaan tidak dilakukan oleh kaum revolusioner seperti Kang Dedi. Karena itu dibuat oleh birokrat sendangkan mereka adalah golongan kontra-revolusioner, mereka adalah golongan teknis yang bergaya layaknya penguasa, dengan tanpa malu akan bilang sebagai orang paling berjasa.
Itulah yang harus dipikirkan, Jagan sampai gagasan baik tapi realisasi operasionalnya bukan orang yang kompeten dan bukan jiwa mereka. Maka, apakah arti pengorbanan dan perjuangan yang dilakukan oleh Kang Dedi.
Gambar: Istimewa
AMING SOEDRAJAT



