TASIKMALAYA–INDOTIPIKOR.COM-MEDIA LOYALIS SELURUH RAKYAT INDONESIA—Dalam kehidupan sosial dan pemerintahan, wartawan memiliki peran yang sangat vital. Mereka bukan sekadar penyampai berita, melainkan penjaga nurani publik dan pengawal demokrasi. Di tangan seorang jurnalis, pena dapat menjadi penerang bagi masyarakat untuk memahami realitas yang sesungguhnya. Namun, di sisi lain, pena yang sama juga bisa berubah menjadi alat tajam yang melukai — jika digunakan tanpa etika dan tanggung jawab moral.
Fenomena yang kini tampak di lapangan cukup memprihatinkan. Banyak oknum wartawan yang justru menjadikan profesinya sebagai alat untuk “berburu kasus”, mengorek-ngorek kesalahan, bahkan mencari celah kelemahan para kepala Desa atau aparatur pemerintahan. Sikap seperti itu tentu tidak sepenuhnya mencerminkan semangat jurnalistik sejati. Bukan berarti pemerintahan tidak memiliki kesalahan — karena kita pun sadar, potensi penyimpangan dan praktik korupsi memang masih tinggi di berbagai lini.
Namun mengungkap kesalahan bukan berarti menghakimi, apalagi menekan pihak tertentu untuk kepentingan pribadi. Jurnalisme seharusnya hadir untuk mendidik, menyeimbangkan, dan mencerahkan. Seorang wartawan dituntut untuk melakukan verifikasi, memberi ruang klarifikasi, dan menjaga netralitas dalam setiap pemberitaan. Karena berita yang tidak berimbang bukanlah kebenaran, melainkan potongan persepsi yang bisa menyesatkan. Ketika jurnalis kehilangan arah nurani, dunia pers berubah menjadi pisau bermata dua — yang satu sisi menyingkap kebenaran, namun sisi lainnya bisa melukai kepercayaan publik.
Kode etik jurnalistik sejatinya bukan hanya pedoman kerja, tetapi juga pagar moral. Etika adalah ruh yang menjaga agar profesi ini tidak terjebak dalam kerakusan informasi dan kepentingan. Jurnalis yang beretika tahu kapan harus kritis dan kapan harus arif. Ia mampu menulis tajam tanpa menyayat, dan mengungkap fakta tanpa menghancurkan martabat manusia.




Di titik inilah jurnalisme diuji: apakah ia bekerja untuk kepentingan kebenaran, atau sekadar memuaskan ego dan keuntungan sesaat? Karena sejatinya, kekuatan seorang wartawan bukan di seberapa besar ia mampu menggugat, melainkan seberapa tulus ia menjaga keseimbangan antara fakta dan hati nurani.
Dan mungkin, di sinilah ruang renung itu perlu kita hadirkan. Bahwa profesi wartawan bukan hanya tentang berita yang cepat terbit, tapi tentang pesan moral yang abadi. Sebab di setiap kalimat yang ditulis, ada tanggung jawab terhadap publik dan terhadap Tuhan. Pena seorang jurnalis sejati bukan alat untuk menghakimi, melainkan lentera yang menuntun jalan kebenaran bagi sesama.
Maka, sebelum tangan menulis dan lidah berbicara, mari sejenak menunduk dan bertanya kepada hati: apakah yang kita tulis membawa cahaya, atau justru menambah gelapnya kepercayaan publik terhadap kebenaran? Karena pada akhirnya, setiap tulisan akan dimintai pertanggungjawaban — bukan hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah Sang Pemilik Kata.
Dan di situlah letak kemuliaan sejati seorang jurnalis: ketika ia menulis bukan untuk kekuasaan, bukan untuk keuntungan, melainkan untuk kebenaran dan keikhlasan nurani.
#ruhangkata
#poroslangit
RED





