Indotipikor.com, Pangandaran
Narasi “Kabupaten Setengah Sekarat” yang ramai diperbincangkan publik pasca pernyataan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM), kini tengah digaungkan secara liar dan sepihak oleh Sarasa Institute—sebuah lembaga lokal yang menyebut adanya kegagalan sistemik, dugaan korupsi, serta mendesak audit forensik dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi, seberapa akurat tudingan itu?
Narasi yang dibumbui dengan tuduhan-tuduhan serius namun tanpa landasan audit resmi ini justru dinilai oleh sebagian kalangan sebagai bentuk “gorengan liar” yang sarat kepentingan dan cenderung tendensius. Apakah benar Pangandaran di ambang kebangkrutan, atau ini hanya bagian dari framing politik jelang tahun politik berikutnya?
Kritik Berlebihan atau Suara Kebenaran?
Sarasa Institute menyebut adanya “kegagalan fiskal” yang sistemik, bahkan menuding praktik korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun, apakah kritik ini didasarkan pada riset mendalam, atau sekadar berangkat dari asumsi dan ketidakpuasan terhadap dinamika pemerintahan daerah pasca Pilkada 2024?
Tokoh muda Pangandaran, Rohimat Resdiana, menilai narasi “sekarat” sebagai politisasi isu fiskal yang dibungkus dalam kemasan akademik. Dalam siaran persnya, ia menantang Sarasa Institute untuk membuka data dan metodologi analisis yang digunakan.
“Apakah mereka sudah melakukan audit? Apakah sudah mengakses laporan BPK? Jangan-jangan ini hanya opini sepihak yang dibalut jargon intelektual,” ujarnya, Selasa (10/6/2025).
Di Mana Posisi Fakta?
Menurut Pemerintah Kabupaten Pangandaran, kondisi fiskal memang menantang, tapi tidak dalam tahap ‘kolaps’. Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru menunjukkan tren kenaikan, terutama dari sektor pariwisata dan retribusi. Apakah kondisi seperti ini layak disebut ‘sekarat’?
Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Pangandaran juga membela keputusan pemerintah mengajukan pinjaman ke Bank BJB. Pinjaman itu, katanya, adalah solusi taktis untuk menjaga belanja prioritas—bukan indikasi kebangkrutan.
Lalu, mengapa Sarasa Institute terkesan mengabaikan data resmi dan memilih membentuk opini publik tanpa menunggu hasil audit dari lembaga berwenang?
Apakah Kritik Terlalu Dini dan Tidak Proporsional?
Desakan audit forensik oleh Sarasa Institute juga menjadi sorotan. Rohimat mempertanyakan motivasi desakan tersebut. Jika laporan BPK terakhir saja memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), lantas di mana letak indikasi kuat yang bisa membenarkan tuduhan korupsi?
“Kalau BPK sudah mengaudit dan hasilnya WDP, lalu mengapa kita malah menyalahkan lembaga negara tersebut tanpa bukti tambahan? Apakah ini upaya menggiring opini untuk tujuan politis tertentu?” tanya Rohimat.
Konteks Pandemi dan Transfer Dana Pusat
Tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi COVID-19 telah mengacaukan banyak postur anggaran daerah. Pangandaran bukan satu-satunya daerah yang mengalami keterlambatan TPP dan Dana Bagi Hasil (DBH). Apakah adil menyimpulkan semua itu sebagai kegagalan pemerintah daerah?
“Kalau memang niatnya memperbaiki, mari duduk bersama. Bukan membakar opini publik,” tegas Rohimat, sembari mengajak semua pihak, termasuk Sarasa Institute, untuk berkontribusi secara konstruktif.
Di Balik Kritik, Ada Aroma Politik?
Dalam pernyataan penutupnya, Rohimat menyinggung soal dinamika politik pasca Pilkada 2024 yang masih menyisakan ekses. Ia mengimbau agar kepentingan politik tidak lagi membebani proses pembangunan.
“Jangan sampai Pilkada kemarin menjadi alasan untuk terus-menerus menyudutkan pemerintah. Kita semua warga Pangandaran. Kalau ada ide bagus, sampaikan langsung. Jangan lewat framing yang bisa memecah belah,” pungkasnya.
Pertanyaan Kritis yang Layak Diajukan:
Mengapa Sarasa Institute tidak melihat proses audit resmi sebelum menyebarkan tuduhan berat ke publik?
Apakah ada kepentingan politik yang terselubung di balik narasi “Pangandaran Sekarat”?
Bagaimana publik bisa membedakan kritik akademik yang jujur dari opini pesanan?
Apakah kritik keras terhadap pemerintah daerah harus selalu dibingkai dengan isu korupsi?
Dan yang paling penting: siapa yang diuntungkan dari narasi krisis ini?
Pangandaran memang sedang menghadapi tantangan fiskal. Tapi apakah krisis ini harus dijadikan panggung politik, atau justru momentum untuk membuktikan siapa yang benar-benar peduli terhadap masa depan daerah? (Red/Nana JN)