JAKARTA,—INDOTIPIKOR.COM-MEDIA LOYALIS– HUMAS MK RI
Selasa,21 Oktober 2025 Pemerintah memandang perlu adanya terobosan dalam penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis di Indonesia melalui pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital based) oleh Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) dengan mengikuti best practices yang berlaku di seluruh negara maju. Program ini bertujuan untuk menambah jumlah, meratakan distribusi, dan membebaskan biaya pendidikan dokter spesialis.
Demikian keterangan Pemerintah/Presiden yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam sidang uji materiil Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) UU Kesehatan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Permohonan ini diajukan oleh sejumlah dokter dan mahasiswa ilmu kedokteran, yakni Razak Ramadhan Jati Riyanto (Pemohon I), M. Abdul Latif Khamdilah (Pemohon II), M. Hidayat Budi Kusumo (Pemohon III), dan M. Mukhlis Rudi Prihatno (Pemohon IV). Sidang keempat Perkara Nomor 143/PUU-XXIII/2025 ini digelar pada Senin (20/10/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Budi menyebut Indonesia mengalami permasalahan dokter spesialis yang jumlahnya kurang, distribusinya tidak merata, dan biaya pendidikannya mahal karena memiliki sistem pendidikan dokter spesialis yang berbeda.
Menurutnya, negara-negara maju memiliki sistem pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit, sedangkan sistem di Indonesia adalah berbasis universitas.
Sebagai perbandingan, saat ini Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 280 juta jiwa hanya mampu memproduksi lebih kurang 2.700 dokter spesialis per tahun melalui sistem berbasis universitas di 26 fakultas kedokteran.
Sementara pada negara-negara maju yang menggunakan sistem berbasis rumah sakit, sambung Budi, seperti Korea Selatan dengan populasi lebih kurang 52 juta jiwa mampu memproduksi lebih kurang 3.000 dokter spesialis per tahun di 102 rumah sakit sebagai penyelenggara pendidikan. Adapun Amerika Serikat dengan populasi lebih kurang 341 juta jiwa memproduksi lebih kurang 51.130 dokter spesialis per tahun di 905 rumah sakit sebagai penyelenggara pendidikan.
Di samping kapasitas produksi yang jauh lebih banyak, sistem pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit di negara-negara tersebut juga turut mendorong distribusi dokter spesialis dan membebaskan peserta didik dari biaya pendidikan.
“Peserta didik justru digaji, karena dianggap sebagai pegawai rumah sakit yang sedang menjalani pendidikan klinis lanjutan. Tidak ada negara yang menarik biaya uang kuliah dari pendidikan dokter spesialis, untuk dibayarkan ke Institusi Pendidikan.
Pada hakikatnya sistem pendidikan dokter spesialis merupakan pendidikan klinis lanjutan yang membutuhkan fasilitas, kasus, dan sumber daya manusia yang memadai. Sehingga 98% kurikulum pendidikan dokter spesialis diselenggarakan di rumah sakit,” jelas Budi dalam Sidang Pleno yang dihadirinya secara daring.
Distribusi Dokter Spesialis
Budi juga menyampaikan rencana dalam kurun lima tahun ke depan, Pemerintah berencana membuka 500 Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Utama (RSPPU) untuk mengejar pemenuhan kebutuhan dokter spesialis—khususnya spesialis dasar dan spesialis untuk layanan penyakit kanker, jantung, stroke, ginjal, kesehatan ibu dan anak. Upaya ini diproyeksikan akan menambah sejumlah sebanyak 6.000 orang dokter spesialis per tahun dalam 10 tahun ke depan.
Bersama-sama dengan program university-based, kedua sistem ini diharapkan dapat mengejar pemenuhan dokter spesialis 15 tahun lebih awal jika dibandingkan tanpa intervensi apa pun.
Selain itu, Budi menyebut UU 20/2003 difokuskan pada pengaturan sistem pendidikan nasional secara umum—termasuk pendidikan tinggi. Kemudian UU 12/2012 difokuskan pada pengaturan tentang pendidikan tinggi secara umum, sedangkan UU 17/2023 secara khusus dan spesifik mengatur pendidikan tinggi tenaga medis dan tenaga Kesehatan.
Sebagian besar norma umumnya mengacu pada Undang-Undang 12/2012 dan norma lainnya merupakan tambahan yang menjadi ketentuan khusus dalam penyelenggaraan pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan, khususnya program pendidikan dokter spesialis.
“Ketentuan dalam ketiga undang-undang tersebut, tidak terdapat tumpang tindih pengaturan karena fokus dan ruang lingkupnya berbeda, serta saling melengkapi dalam mengatur pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia. Tidak ada pengaturan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan spesialis harus dilakukan oleh institusi pendidikan.
Dalam hal penyelenggaraan pendidikan profesi, Undang-Undang 20/2003 dan Undang-Undang 12/2012 justru menggunakan frasa dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memberi ruang bagi penyelenggaraan pendidikan profesi oleh institusi lain yang memenuhi standar nasional pendidikan tinggi, termasuk rumah sakit pendidikan,” ucap Budi.
Pemerintah berpandangan bahwa frasa “pemerintah mengusahakan” dan “menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, seharusnya tidak ditafsirkan bahwa semua pendidikan harus berada di bawah payung satu instansi atau kementerian. “Sepanjang penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh penyelenggara berbeda yang menjalankan dengan standar yang sama, maka hal tersebut masih dalam konteks satu sistem pendidikan nasional,” jelasnya.
Berikutnya, Budi menjelaskan hal rekrutmen calon peserta didik, program hospital based mengedepankan prinsip afirmasi dengan mengutamakan putra/putri daerah dan dokter-dokter calon peserta didik yang sudah bekerja di rumah sakit-rumah sakit di daerah terpencil dan belum memiliki dokter-dokter spesialis tertentu.
Untuk pendayagunaan, lulusan dokter spesialis akan bekerja di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan dengan Surat Izin Praktik (SIP) yang diterbitkan khusus untuk daerah-daerah tersebut.
“Dengan demikian, diproyeksikan dokter spesialis lulusan program hospital based akan mengisi 347 kabupaten/kota yang masih mengalami kekosongan spesialis dasar dan spesialis layanan kanker, jantung, stroke, ginjal, kesehatan ibu, dan anak.
Di samping dua hal tersebut, Pemerintah akan membebaskan biaya pendidikan dokter spesialis bagi peserta didik program hospital based, sehingga hambatan finansial untuk melanjutkan pendidikan dokter spesialis dapat dihilangkan,” urainya.
Sebelumnya, para Pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Sebab semangat transformasi perubahan dengan menyediakan alternatif penyelenggaraan pendidikan profesi spesialis/subspesialis oleh Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit Pendidikan, tanpa mengharmonisasikan dan mengubah hal-hal khusus yang beririsan dengan UU 17/2023 diundangkan dan dinyatakan tegas dalam UU 20/2003 dan UU 12/2012.
Pemohon menjelaskan akan adanya kebutuhan percepatan dokter spesialis/subspesialis yang digaungkan oleh Pemerintah.
Namun, hal ini kemudian menjadi kontradiktif dan mispersepsi yang menimbulkan ketidakpastian hukum yang jelas dan adil saat dilakukan terobosan melalui pembentukan sistem penyelenggara utama pendidikan spesialis/subspesialis baru (RSPPU).
Dalam pandangan para Pemohon, pembentuk undang-undang dinilai tidak rasional dalam membentuk RSPPU dengan memproduksi dokter sebanyak-banyaknya tanpa memberdayakan terlebih dahulu Perguruan Tinggi yang sudah ada di seluruh Indonesia.
Selain itu, hal demikian juga menimbulkan konflik kepentingan dan ketegangan terhadap dua sistem penyelenggara pendidikan berbeda antara Perguruan Tinggi sebagai university based dan RSPPU sebagai hospital based.
Sebab perbedaan sistem pendidikan dan perlakuan terhadap residen mahasiswa, baik semasa pendidikan maupun pascapendidikan.
Adanya norma Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) UU 17/2023 telah melanggar Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 karena Pemerintah memberlakukan dualisme penyelenggara pendidikan profesi spesialis dan subspesialis tanpa mengharmonisasikan terlebih dahulu berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan pendidikannya.
Selain itu, norma ini melahirkan dualisme pada sistem penyelenggaraan pendidikan spesialis/subspesialis di RSPPU yang dapat berdampak pada kecemburuan dan konflik kepentingan, baik dari penyelenggara pendidikan maupun residen.
Berdasar dalil tersebut, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 187 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara beryarat dan tidak memiliki kekuataan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Rumah Sakit pendidikan hanya dapat berperan sebagai mitra pelaksana klinis dalam penyelenggaraan pendidikan profesi bidang Kesehatan untuk program spesialis/subspesialis dengan tetap bekerja sama dengan perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan utama”.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan.





