INDOTIPIKOR.COM-BAPA AING—-“Dedi Mulyadi dan Gebrakan Berani di Jawa Barat: Mencari Titik Temu Antara Ekonomi dan Hak Anak”
Begitu dilantik menjadi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi langsung tancap gas. Berbagai gebrakan besar ia luncurkan, beberapa di antaranya bahkan tergolong berani. Salah satu yang paling ramai dibicarakan adalah pembongkaran tempat wisata di kawasan perkebunan teh Puncak, Bogor. Menurut Dedi, tempat-tempat wisata itu tak sesuai dengan peruntukan lahan dan berisiko memicu bencana seperti banjir di wilayah hilir.
Gebrakan lain yang cukup mendapat sambutan hangat dari masyarakat adalah program pemutihan tunggakan pajak kendaraan. Selain itu, Dedi juga membuat kebijakan penting: melarang studi wisata sekolah keluar dari Jawa Barat, yang dituangkan dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 64/PK.01/KESRA.
Namun, kebijakan ini menuai pro-kontra. Ada beberapa sekolah yang tetap nekat mengadakan studi wisata ke luar provinsi dan terpaksa harus menerima sanksi. Dedi berdiri di atas alasan kuat: biaya studi wisata sering kali membebani orangtua, apalagi di tengah fakta bahwa Jawa Barat memiliki 3,89 juta warga miskin, tertinggi kedua setelah Jawa Timur (data BPS 2024).
Ketika Hak Anak Bertemu Realitas Ekonomi
Perdebatan ini mencuat ke publik saat Dedi berdiskusi dengan AC, seorang siswa dari Kabupaten Bekasi. AC memprotes larangan wisuda dan penggusuran bantaran kali. Bagi AC, wisuda adalah momen istimewa yaitu sebuah perayaan untuk mengenang perjuangan tiga tahun di bangku sekolah.
Di sinilah dua sudut pandang bertemu: Dedi berpihak pada kondisi ekonomi masyarakat, sedangkan AC berbicara tentang hak anak.
Mengacu pada Konvensi Hak Anak 1989, anak-anak memiliki berbagai hak, termasuk hak untuk bermain, berkreasi, mendapatkan pendidikan, dan berekspresi. Studi wisata dan acara wisuda, kalau dilihat lebih dalam, sebenarnya merupakan perwujudan dari hak anak untuk belajar sambil berkreasi.
Lewat studi wisata, anak-anak bisa belajar hal-hal baru di luar ruang kelas yaitu memahami sejarah di museum, menyaksikan langsung proses produksi di pabrik, atau belajar tentang budaya di tempat asalnya. Sementara wisuda, meski bukan penentu kelulusan, menjadi momen penting yang memberikan ruang bagi anak-anak merayakan perjalanan pendidikan mereka.
Mencari Solusi: Belajar dari Dua Perspektif
Bagaimana menjembatani kebutuhan ini tanpa membebani ekonomi keluarga?
Solusinya bukan melarang total, melainkan mencari jalan tengah. Pemerintah daerah bisa mengambil peran lebih aktif. Misalnya:
• Menyediakan anggaran subsidi untuk kegiatan siswa, terutama di sekolah-sekolah dengan banyak murid dari keluarga prasejahtera.
• Mengajak BUMN, BUMD, dan industri lokal untuk terlibat dalam program studi wisata sebagai bagian dari program CSR mereka.
• Memanfaatkan fasilitas milik pemda untuk acara perpisahan atau wisuda tanpa biaya tinggi.
• Membuka ruang kreatif bagi siswa untuk menggalang dana: bernyanyi di tempat umum, mengadakan bazar, atau pertunjukan seni, tentunya dalam pengawasan yang aman dan tertib.
Dengan begitu, siswa tetap bisa menikmati hak mereka untuk berekreasi dan berekspresi, sambil belajar tentang dunia nyata, mulai dari merancang acara hingga mengatur keuangan.
Untuk mencegah potensi penyalahgunaan dana, transparansi wajib ditegakkan. Semua anggaran harus diumumkan terbuka kepada orangtua dan siswa.
Selain itu, menabung sejak dini juga bisa menjadi solusi. Jika cicilan untuk kegiatan sekolah dibuka sejak siswa duduk di kelas 1, beban finansial menjelang acara akan jauh lebih ringan. Ini sekaligus menjadi pelajaran praktis tentang pentingnya menabung dan bertanggung jawab.
Sistem subsidi silang juga dapat diterapkan: siswa dari keluarga mampu membayar lebih, membantu meringankan beban teman-temannya yang kurang mampu. Ini bukan hanya soal uang, tetapi juga menanamkan nilai empati dan solidaritas.
Menutup Jarak, Mewujudkan Harapan
Gebrakan Dedi Mulyadi mengingatkan kita bahwa pemimpin sejati harus berani mengambil keputusan sulit. Tapi dalam setiap kebijakan, ruang untuk mendengar suara rakyat, terutama suara anak-anak tetap penting.
Dengan pendekatan kreatif, transparan, dan berpihak pada kepentingan semua pihak, cita-cita Dedi untuk melindungi ekonomi rakyat dan harapan AC untuk merayakan perjalanan pendidikannya bisa bertemu di tengah jalan.
Belajar sambil berkreasi bukan hanya hak anak, tapi juga investasi untuk masa depan Jawa Barat yang lebih cerah.
#GebrakanDediMulyadi
#PendidikanBermartabat
#HakAnakTerpenuhi
#WisataEdukasiJabar
#EkonomiRakyatPrioritas
layung jagat.
TASIKMALAYA RED



